mencari topik lain

Monday, November 14, 2011

Secuil dari Seminar Kesehatan Mental Anak (bag. 1)


Secara umum seminar ini memunculkan kekhawatiran tentang kesehatan mental generasi muda Indonesia. Kenakalan remaja sudah menjadi berita sehari hari, kenakalan anak juga sangat mencemaskan. Sedangkan pendidikan yang ‘sepertinya’ semakin maju namun tidak berdampak positif terhadap perkembangan mental anak. Pendidikan memang membuat anak cerdas namun tidak sepenuhnya sehat secara mental.
Seminar yang diadakan di Pendopo Ageng Balaikota Solo ini dihadiri lebih dari 200 peserta (menurut pengamatan saya) yang sebagian besar dari kalangan yang berbasic pendidikan Psikologi. Dalam setiap sesi pertanyaan, hampir semua peserta tunjuk jari… luar biasa minat para pesertanya.

Karena bahasan lumayan panjang, maka tulisan ini akan saya bagi dalam dua bagain. Bagian pertama akan saya tulis tentang apa yang saya tangkap dari penjelasan Prof. Sarlito Wirawan Sartono dan bagian kedua akan saya tulis tentang penjelasan dari Tika Bisono.
Oke, selanjutnya akan kita bahas dimulai dari pembicara pertama….

Prof. Sarlito Wirawan Sarwono
Sang Profesor Psikologi Sosial ini menyampaikan materi ‘Dari Variabel Kepribadian ke Variabel Lingkungan Sosial ; Perubahan Trend Penyebab Kenakalan Remaja’

Menurutnya ada peningkatan secara kuantitatif dan kualitatif kenakalan remaja saat ini. Kuantitatif jelas dapat dilihat data jumlah korban dan kasus yang meningkat.
Sedangkan kualitatif dapat dilihat dari rentang usia yang meluas, latar belakang ekonomi yang melibatkan mulai golongan bawah sampai atas, pendidikan yang semakin variatif, sampai tidak selalu berasal dari keluarga yang broken. Keluarga non-broken pun banyak yang terlibat.

Dahulu semua meyakini bahwa kenakalan remaja selalu dipicu oleh faktor – faktor personal remaja itu sendiri. Mulai konsep tentang masa remaja yang penuh kegalauan (Hurlock), faktor trauma masa kanak kanak (psikoanalisis), conditioning oleh keluarga sejak awal pertumbuhan (behaviorisme), anak yang mencontoh kelakuan orang dewasa (bandura), sampai berkurangnya nilai – nilai dalam kehidupan (humanistic)
Masih jaman dahulu (sebenarnya sekarang pun masih), cara mengatasi yang sering digunakan antara lain dengan pelajaran budi pekerti, pelajaran agama, les, disiplin militer, meningkatkan keharmonisan keluarga, sampai keteladanan dari tokoh masyarakat. Semuanya selalu disampaikan dan dilakukan untuk menekan angka kenakalan remaja.

Faktanya, menurut sang profesor bahwa data kenakalan semakin serius dan memprihatinkan.. nah lo!
Nah sekarang kita masuk ke pembahasan lebih dalam...

Untuk mengupas permasalahan tersebut Sarlito sempat mengutip teori Kurt Lewin bahwa Behavior = Personality + Environment (B = P + E), artinya perilaku yang muncul dari seseorang adalah hasil dari factor kepribadian/bawaan dan faktor pengaruh lingkungan. Jika dahulu penyebab kenakalan remaja diyakini karena faktor pribadi yang dominan maka sekarang sumber masalah juga diyakini bergeser ke faktor E alias lingkungan..
Sempat saya tanyakan pada sesi tanya jawab apakah porsi antar P dan E itu ada perubahan sesuai perkembangan waktu ? Sarlito menjawab tidak. Hanya saja faktor E sekarang sangat dinamis dan variatif.
Salah satu faktor Environment yang bikin GILA adalah teknologi informasi. Dalam buku The World is Flat (friedman) menjelaskan bahwa dunia tidak ada batasan lagi. Sumber informasi sangat bervariasi, mudah, murah dan bebas. Yup.. sekarang akses ke internet sangat bebas, tidak ada batasan umur dan tidak ada ‘pagar’ yang bias membatasi antara yang boleh diakses dan tidak. Slogan Internet Sehat tampaknya hanya sekedar jargon ideal yang tidak membumi.

Akibatnya, pranata lama, nilai - nilai dan norma semakin tidak dihormati lagi. Setiap orang mencari acuan dan pembenaran atas perilakunya. Kegalauan (istilah yang agak alay.. hehe) melebar tidak hanya pada masa remaja namun juga ke masa kanak – kanak.
Kondisi tersebut mengarah pada suatu kondisi yang bernama Anomie. Sebuah kondisi tanpa norma dan hukum. Semua berusaha membuat hukum dan membangun kekuasaan (misal partai yang akan selalu pecah). Demo, perang, revolusi dan kejahatan meningkat tajam.

Dalam pembahasan selanjutnya Sarlito memberikan solusi. Ada beberapa hal yang intinya perubahan dalam pola asuh terhadap anak.
Yaitu orang tua harus mengubah paradigma dalam proses pendidikan anak. Jika dahulu anak harus taat pada orang tua, sekarang hal itu tidak cukup. Anak harus diajari kritis. Biarkan anak bertanya dan jika kurang puas biarkan mencari sumber jawaban lain dan bahas lagi jawabannya bersama orang tua. Hindari dikte anak dengan kewajiban, ajari anak untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri. Dan yang terakhir, jaga hubungan emosi anak dan orang tua, sehingga jika ada anak ada masalah akan datang ke orang tua bukan teman atau yang lain.
Intinya yang saya tangkap adalah perlakukan anak sebagai subjek yang mempunyai hak memilih dan berkembang. Orang tua adalah pengarah utama atas perilaku utama. Sebagai konsultan yang harus dapat dipercaya anak atas semua keingintahuannya.

Lalu kesimpulan yang diberikan sang profesor adalah Anak didik bukan untuk menyesuaikan diri pada norma/nilai yang sudah mapan, tetapi kepada perubahan yang akan terjadi terus.
Tentang kesimpulan ini saya juga sempat tanyakan, bagaimana dengan aspek agama. Bukankah agama adalah sesuatu yang pasti dan tidak berubah ? kemudian dijawab kalo faktor itu tidak masalah, tetap harus diikuti. Sayangnya sang profesor tidak menjelaskan banyak. Mau Tanya lagi? Walah antriannya buanyaaakkkk banget!.
Untuk pembahasan berikutnya tentang materi dati Tika Bisono akan saya tulis pada bagian dua….

No comments:

Post a Comment