Secara umum seminar ini memunculkan kekhawatiran tentang
kesehatan mental generasi muda Indonesia. Kenakalan remaja sudah menjadi berita
sehari hari, kenakalan anak juga sangat mencemaskan. Sedangkan pendidikan yang ‘sepertinya’
semakin maju namun tidak berdampak positif terhadap perkembangan mental anak.
Pendidikan memang membuat anak cerdas namun tidak sepenuhnya sehat secara
mental.
Seminar yang diadakan di Pendopo Ageng Balaikota Solo ini
dihadiri lebih dari 200 peserta (menurut pengamatan saya) yang sebagian besar
dari kalangan yang berbasic pendidikan Psikologi. Dalam setiap sesi pertanyaan,
hampir semua peserta tunjuk jari… luar biasa minat para pesertanya.
Karena bahasan lumayan panjang, maka tulisan ini akan saya bagi dalam dua bagain. Bagian pertama akan saya tulis tentang apa yang saya tangkap dari penjelasan Prof. Sarlito Wirawan Sartono dan bagian kedua akan saya tulis tentang penjelasan dari Tika Bisono.
Oke, selanjutnya akan kita bahas dimulai dari pembicara
pertama….
Prof. Sarlito Wirawan Sarwono
Sang Profesor Psikologi Sosial ini menyampaikan materi ‘Dari
Variabel Kepribadian ke Variabel Lingkungan Sosial ; Perubahan Trend Penyebab
Kenakalan Remaja’
Menurutnya ada peningkatan secara kuantitatif dan kualitatif
kenakalan remaja saat ini. Kuantitatif jelas dapat dilihat data jumlah korban
dan kasus yang meningkat.
Sedangkan kualitatif dapat dilihat dari rentang usia yang
meluas, latar belakang ekonomi yang melibatkan mulai golongan bawah sampai
atas, pendidikan yang semakin variatif, sampai tidak selalu berasal dari
keluarga yang broken. Keluarga non-broken pun banyak yang terlibat.
Dahulu semua meyakini bahwa kenakalan remaja selalu dipicu oleh faktor – faktor personal remaja itu sendiri. Mulai konsep tentang masa remaja yang penuh kegalauan (Hurlock), faktor trauma masa kanak kanak (psikoanalisis), conditioning oleh keluarga sejak awal pertumbuhan (behaviorisme), anak yang mencontoh kelakuan orang dewasa (bandura), sampai berkurangnya nilai – nilai dalam kehidupan (humanistic)
Masih jaman dahulu (sebenarnya sekarang pun masih), cara
mengatasi yang sering digunakan antara lain dengan pelajaran budi pekerti,
pelajaran agama, les, disiplin militer, meningkatkan keharmonisan keluarga,
sampai keteladanan dari tokoh masyarakat. Semuanya selalu disampaikan dan
dilakukan untuk menekan angka kenakalan remaja.
Faktanya, menurut sang profesor bahwa data kenakalan semakin serius dan memprihatinkan.. nah lo!
Nah sekarang kita masuk ke pembahasan lebih dalam...
Untuk mengupas permasalahan tersebut Sarlito sempat mengutip teori Kurt Lewin bahwa Behavior = Personality + Environment (B = P + E), artinya perilaku yang muncul dari seseorang adalah hasil dari factor kepribadian/bawaan dan faktor pengaruh lingkungan. Jika dahulu penyebab kenakalan remaja diyakini karena faktor pribadi yang dominan maka sekarang sumber masalah juga diyakini bergeser ke faktor E alias lingkungan..
Sempat saya tanyakan pada sesi tanya jawab apakah porsi antar P dan E itu ada perubahan
sesuai perkembangan waktu ? Sarlito menjawab tidak. Hanya saja faktor E sekarang
sangat dinamis dan variatif.
Salah satu faktor Environment
yang bikin GILA adalah teknologi informasi. Dalam buku The World is Flat (friedman) menjelaskan bahwa dunia tidak ada
batasan lagi. Sumber informasi sangat bervariasi, mudah, murah dan bebas. Yup..
sekarang akses ke internet sangat bebas, tidak ada batasan umur dan tidak ada ‘pagar’
yang bias membatasi antara yang boleh diakses dan tidak. Slogan Internet Sehat
tampaknya hanya sekedar jargon ideal yang tidak membumi.
Akibatnya, pranata lama, nilai - nilai dan norma semakin tidak dihormati lagi. Setiap orang mencari acuan dan pembenaran atas perilakunya. Kegalauan (istilah yang agak alay.. hehe) melebar tidak hanya pada masa remaja namun juga ke masa kanak – kanak.
Kondisi tersebut mengarah pada suatu kondisi yang bernama
Anomie. Sebuah kondisi tanpa norma dan hukum. Semua berusaha membuat hukum dan
membangun kekuasaan (misal partai yang akan selalu pecah). Demo, perang,
revolusi dan kejahatan meningkat tajam.
Dalam pembahasan selanjutnya Sarlito memberikan solusi. Ada beberapa hal yang intinya perubahan dalam pola asuh terhadap anak.
Yaitu orang tua harus mengubah paradigma dalam proses
pendidikan anak. Jika dahulu anak harus taat pada orang tua, sekarang hal itu
tidak cukup. Anak harus diajari kritis. Biarkan anak bertanya dan jika kurang
puas biarkan mencari sumber jawaban lain dan bahas lagi jawabannya bersama
orang tua. Hindari dikte anak dengan kewajiban, ajari anak untuk membuat
keputusan bagi dirinya sendiri. Dan yang terakhir, jaga hubungan emosi anak dan
orang tua, sehingga jika ada anak ada masalah akan datang ke orang tua bukan
teman atau yang lain.
Intinya yang saya tangkap adalah perlakukan anak sebagai
subjek yang mempunyai hak memilih dan berkembang. Orang tua adalah pengarah
utama atas perilaku utama. Sebagai konsultan yang harus dapat dipercaya anak
atas semua keingintahuannya.
Lalu kesimpulan yang diberikan sang profesor adalah Anak didik bukan untuk menyesuaikan diri pada norma/nilai yang sudah mapan, tetapi kepada perubahan yang akan terjadi terus.
Tentang kesimpulan ini saya juga sempat tanyakan, bagaimana
dengan aspek agama. Bukankah agama adalah sesuatu yang pasti dan tidak berubah
? kemudian dijawab kalo faktor itu tidak masalah, tetap harus diikuti. Sayangnya
sang profesor tidak menjelaskan banyak. Mau Tanya lagi? Walah antriannya
buanyaaakkkk banget!.
Untuk pembahasan berikutnya tentang materi dati Tika Bisono akan
saya tulis pada bagian dua….
No comments:
Post a Comment