mencari topik lain

Wednesday, March 17, 2010

KEMATANGAN SEKOLAH


Dalam beberapa minggu terakhir saya sering mendengar keluhan dari para orang tua yang konsultasi tentang sulitnya mencari Sekolah Dasar bagi anaknya yang telah ‘lulus’ dari TK atau sejenisnya (sebenarnya kata ini tidak tepat, karena TK bukan sekolah).
Sekolah disini yang dimaksud adalah sekolah – sekolah favorit atau sekolah yang fullday. Ketika saya tanya mengapa tidak memilih sekolah negeri, mereka menjawab macam – macam, ada yang menjawab kegiatan kurang, jam sekolah tidak sampai sore sehingga nanti tidak ada yang menjaga anak – anak karena semua bekerja, karena malu dengan saudara – saudara karena anak mereka semua di SD favorit dan sebagainya…

Intinya mereka menginginkan sekolah yang ‘one stop knowledge/skill
sekaligus tempat penitipan, dan mereka hanya tinggal bayar. Anak pintar mulai berhitung sampai ngaji sehingga orang tua bisa ‘santai’ nyari uang…
(dan kita menyebut diri kita orang tua yang baik?? huft)

Di sisi lain para orang tua mencemaskan kemampuan anak mereka dalam mengikuti proses seleksi untuk masuk SD tersebut. Mereka menjelaskan anaknya harus menjalani tes menulis, menghitung, mengaji, dan psikotes… whediaan tenan!

(Hal ini menjawab maraknya les – les tambahan bagi anak seusia playgroup dan TK).

Dulu saya ketika saya masih aktif di PAUD saya sempat bertanya mengapa syarat masuk SD begitu berlebihan, bukankah belajar membaca, menulis, berhitung itu tugas anak di SD? Pihak sekolah menjawab bahwa itu cara yang efektif menyeleksi calon siswa didiknya, karena membludaknya peminat yang menginginkan sekolah d SD tersebut… alasan masuk akal yang tidak tepat, pikir saya. Kenapa tidak tepat, karena selain itu bukan tugas tahap perkembangan anak seusia preschool, sekolah tidak memikirkan dampak dari aturannya tersebut. Masyarakat awam akan merespon aturan tersebut dengan perilaku yang sangat berdampak negatif bagi anak. Jam belajar atau les tambahan yang memberatkan, PR yang berlebihan, dan yang jelas jam bermain yang nyaris hilang…..ck..ck..ck. Dan banyak yang beralasan ini semua demi sang buah hati… (kayaknya karena gengsi deh?)

Dari kacamata psikologi satu – satunya syarat masuk sekolah dasar adalah kematangan sekolah anak. Dapat diartikan kesiapan fisik dan mental anak sesuai tahapan perkembangannya. Sehingga anak tidak akan matang ‘karbitan’ alias dengan paksaan. dan inilah yang dipersiapkan saat preeschool.
Beberapa aspek kematangan sekolah antara lain :
Kematangan Motorik
Aspek ini terbagi menjadi motorik kasar (melompat, berlari, bermain) dan halus (menggunting, aktivitas terhadap alat tulis atau menulis sederhana)
Kemandirian
Kemampuan mengendalikan fungsi – fungsi tubuh (buang ari besar/kecil, makan, memakai sepatu..)
Konsentrasi dan Tanggungjawab
Bagaimana menyelesaikan tugas (sekolah/rumah)
Sosialisasi, Norma dan Agama
Menjalin hubungan/komunikasi dengan orang lain dan teman sebaya, termasuk memahami norma sosial sederhana serta pemahaman dan perilaku beragama

Jadi anak TK tidak boleh diajari membaca, menulis, berhitung..?
Sebenarnya permasalahannya bukan di aktivitasnya, namun bagaimana sikap anak dalam melakukan itu. Aktivitas mengenalkan dengan suasana yang tepat saya pikir tidak ada masalah.

Justru aktivitas yang menunjang perkembangan kemampuan mental yang perlu lebih diperbanyak. Seperti sikap menghormati kepada teman dan patuh saat pembelajaran

Sebagai contoh, bagaimana membuat anak menikmati proses belajarnya, khususnya dalam calistung ?
Jawabannya adalah apa yang disenangi anak? Bermain! Yup betul. Buatlah semua proses tersebut dengan bermain atau aktivitas yang disenangi.
Sebagai contoh aktivitas belajar berhitung bisa dilakukan ketika anak bermain di dapur.. mintalah anak untuk mengambilkan sesuatu dengan jumlah yang di tentukan. “adek.. mama minta tolong diambilkan bawang merah tiga biji..” lalu pandulah anak dengan menghitung bersama.. Nah jadilah anda guru matematika sekaligus guru memasak.. asik kan?
Dalam kasus berhitung sebenarnya anak memahami angka sebagai hapalan bukan konsep jumlah sehingga kita juga harus mengajarkan dengan bahasa yang sesuai dan mudah dipahami.
Selanjutnya tinggal kita terapkan pada materi – materi yang lain. Dan kita bisa melakukannya di rumah, di jalan, pasar, ketika bertamu atau apapun aktivitas bersama anak.

Jadi ketika menghadapi tuntutan lingkungan yang selalu berubah, bukan anak yang kita rubah namun cara kita dalam mendidik yang perlu dimodifikasi. Karena sekolah hanyalah sarana bukan pendidik utama. Kalo bukan kita siapa lagi?


No comments:

Post a Comment