mencari topik lain

Sunday, March 14, 2010

(Tidak) Pentingnya PR bagi Anak Preschool

Bu Mira sedang sibuk membujuk Icha untuk mengerjakan PR menulisnya, namun sang anak tetap asyik bermain puzle 9 bagian yang sejak tadi belum selesai. Icha saat ini berusia 5 tahun dan duduk bangku TK di kawasan perumahan elite. PR yang dimaksud sang mama adalah menulis dua buah kata yang harus diulang sebanyak 5 kali.

Kondisi di atas sering kita jumpai di sekitar kita. Orang tua yang dipusingkan dengan pekerjaan rumah sang anak (lho, kok jadi orang tua yang pusing…..
bukannya yang dapat PR sang anak?).


Mungkin sebuah maksud baik dari kurikulum yang salah sasaran. Kenapa mungkin, karena saya khawatir kurikulum TK yang ada saat ini kurang berpijak pada kebutuhan tumbuh kembang anak. Tujuan kurikulum tersebut (sekali lagi) mungkin ingin meningkatkan kedisiplinan anak atau sekedar memunculkan rasa tanggungjawab


Kebutuhan berkembang untuk anak usia 5 tahun adalah bermain. Sebuah proses pembelajaran yang paling mendasar dan menyenangkan. Sebuah proses pengenalan lingkungan baik fisik maupun nilai – nilai yang sangat alamiah.
Adapun nilai – nilai yang berupa kedisiplinan dan rasa tanggung jawab sangat bisa diajarkan dengan berbagai cara yang lain tanpa efek samping. Alangkah buruknya suatu kurikulum jika efek samping lebih besar akibatnya daripada tujuan itu sendiri. Kasus Icha adalah sebuah contoh kondisi riil yang setiap hari terjadi di sekitar kita. Sebuah tujuan baik yang bisa berdampak ‘trauma’ akibat pemaksaan atas proses – prosesnya.
Sifat pemikiran anak adalah positif, ceria, ingin tahu, dan mencoba. Tugas kita adalah memberikan stimulus untuk mengembangkan logika, perasaan, dan fisik anak agar berkembang dengan baik. Pananaman mental, norma, kedisiplinan , dan tanggungjawab tentu saja harus dilandasi dengan sifat dasar pemikiran anak. 


Alangkah egonya kita jika penanaman nilai – nilai tersebut dilandasi kepentingan (baca : gengsi) dan tujuan orang tua bahwa anaknyalah yang terbaik, bahwa anaknyalah yang terpintar, malu kalau kalah dengan anak tetangga dan sebagainya…
Dampak terburuk dari ke’ego’an kita anak bias saja trauma dengan salah satu pelajaran, trauma dengan kata belajar, trauma dengan kata PR, atau bahkan trauma dengan sekolah.. Sekedar tahu, bahwa kadang kondisi trauma sering tidak disadari, artinya kondisi tersebut berada di bawah sadar. Bisa saja anak tetap bersekolah namun sangat sulit menerima sebuah pelajaran (yang di bawah sadar ditolaknya).
Kalo sudah begini, anak tetap menjadi kambing hitam, mereka akan lebih dipaksa untuk ‘pintar’. Sekolah yang seharusnya jadi tempat menyenangkan berubah menjadi tempat penuh tekanan. Ujung – ujungnya timbul kenakalan anak, penyimpangan perilaku, penyalahgunaan obat dan lan sebgainya sebagai pelampiasan dan alat untuk menunjukkan eksistensi mereka…


Kembali ke permasalahan PR, menurut saya anak usia TK bisa saja diberikan PR dengan catatan yang diberi pekerjaan rumah adalah orang tuanya (bisa melalui buku komunikasi). Sebelumnya berikan orang tua panduan cara membelajari (maaf istilah yang tidak EYD) yang baik dan menyenangkan, setelah paham berikan PR, misalnya bermain angka 1 – 5 dengan anak, atau bermain bentuk dan warna dengan anak, dan sebagainya.

Saya yakin, andaikan hal tersebut bisa berjalan, bukan hanya tujuan kurikulum yang akan tercapai, namun perkembangan anak akan pesat, dan yang tidak kalah pentingnya, hubungan orang tua dan anak akan lebih berkualitas. Kalo sudah seperti ini, mana ada kenakalan remaja…?
Semoga berguna




No comments:

Post a Comment