Phobia atau rasa takut biasa ? pic-hypnotherapistshelffield.co.uk |
Sebelum usia 1 tahun (sekitar bulan ke 5) seorang anak sudah mulai
mampu mengenali lingkungan. Anak sudah mulai belajar membedakan mana lingkungan
yang sering dilihat dan mana lingkungan yang asing. Termasuk mengenali orang –
orang yang berada di sekelilingnya.
Anak mulai merasakan
ketidaknyamanan dan kecemasan jika tidak menemukan lingkungan atau sosok yang
dikenal dengan baik. Perasaan ini diekspresikan anak dengan raut muka tegang,
gelisah, atau sampai pada puncaknya,
menangis.
Setelah usia 2 tahun, imajinasi anak berkembang pesat. Anak
seringkali kesulitan membedakan antara kenyataan dan fantasi. Anak sangat mudah
terpengaruh pada tokoh film yang dilihatnya dan cerita - cerita dari orang di
sekelilingnya. Sosok monster, robot, hantu sangat familier terdengar di usia
ini.
Bahkan karena tingginya daya
imajinasi, anak bisa merasa sangat takut pada suara - suara tertentu, biasanya
yang berbunyi keras dan menganggu. Misalnya halilintar, petasan atau hanya
sekedar suara pompa air yang berbunyi di malam hari.
Menjelang usia 5 tahun, anak mulai mampu membedakan antara realitas
dan fantasi. Ketakutannya mulai berdasar pada kenyataan. Meskipun sebenarnya tokoh
fiksi perfilman masih sedikit dominan di pikirannya. Media masa, terutama
televisi bisa menjadi awal dari sumber ketakutannya. Mungkin karena informasi yang
diterima hanya sepotong dan kurang mampu dipahami. Maklum pengetahuan anak
kecil masih terbatas untuk menyerap semua informasi dari televisi.
Pada usia sekolah penyebab ketakutan anak secara umum sama dengan
penyebab ketakutan pada orang dewasa. Hanya saja orang dewasa memiliki daya nalar
yang lebih baik untuk mengelola ketakutannya.
Phobia dan Takut
Tentang phobia, kata ini berasal
dari kata Yunani “phobos” yang berarti lari, takut, panik serta takut
yang hebat. Beberapa ahli mengatakan phobia adalah perasaan takut yang irasional
dan menetap terhadap benda, sesuatu atau aktivitas. Ketakutan yang penyebabnya
tidak masuk akal dan berlebihan. Dan biasanya penderita phobia kesulitan
mengontrol ketakutannya itu.
Dalam buku DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder – IV), sebuah
buku pedoman gangguan kejiwaan, menyebutkan bahwa phobia digolongkan ke dalam 3
jenis, yaitu : Spesifik atau sederhana (pada
binatang, ketinggian), Sosial
(berhubungan dengan interaksi sosial), Komplek
(berhubungan dengan banyak hal)
Jenis phobia sangat beragam, jenisnya bisa
mencapai ribuan, beberapa phobia misalnya Agoraphobia
(takut tempat terbuka), Claustrophobia
(takut tempat tertutup), Acrophobia
(takut ketinggian), Selenophobia
(takut pada bulan), Pluviophobia
(takut pada hujan) dan masih banyak yang lainnya.
Sedangkan takut adalah perasaan
gentar terhadap sesuatu yang mengancam atau membahayakan dirinya secara nyata.
Takut lebih mengarah sesuatu yang membahayakan fisik. Rasa takut yang normal mempunyai
sebab rasional dan masih bisa dikontrol.
Jadi perbedaannya lebih ke alasan dari ketakutan (rasional atau tidak), respon yang dimunculkan, dan lama tidaknya ketakutan itu berlangsung (phobia cenderung menetap, kecuali dilakukan terapi).
Misalnya, jika seorang anak teriak
histeris ketakutan ketika didekatkan dengan ular karena anak berpersepsi bahwa
gigitan atau bisa ular bisa mencelakainya itu ketakutan yang wajar,. Namun jika
ketakutan itu berlanjut sampai anak takut terhadap gambar ular maka itu bisa
dikatakan phobia. Karena gambar tidak akan membahayakan si anak.
Phobia ditandai dengan kecemasan
yang tinggi, berkeringat dingin, gemetar, sesak napas, histeris, terbawa mimpi
buruk, bahkan sampai pingsan. Penderita phobia kadang mengetahui bahwa
ketakutannya berlebihan, namun dia tetap tidak mampu mengendalikan dirinya.
Baik ketakutan yang wajar maupun
phobia itu bersifat subjektif. Artinya sesuatu itu berbahaya / menakutkan bagi
dirinya atau tidak, sangat tergantung dari penilaian masing masing anak. Bisa
jadi sebuah benda atau binatang menjadi sumber ketakutan bagi seorang anak,
namun bagi anak yang lain malah bisa menjadi sesuatu yang mengasyikkan. Jadi
jagan bandingkan ketakutan seorang anak dengan anak yang lain.
Pada anak usia di bawah lima
tahun, masih agak sulit membedakan apakah ketakutan itu normal dan wajar atau
phobia. Karena anak masih banyak terpengaruh imajinasi yang irasional serta
tingkat penalaran atau logika anak yang masih terbatas. Biasanya ketakutan akan
sesuatu pada usia ini akan berangsur berkurang sesuai dengan perkembangan
usianya. Namun sebaiknya para orang tua tetap waspada dengan memperbanyak
dialog untuk menggali seperti apa ketakutannya.
Bagaimana jika pada usia sekolah
atau pada usia remaja masih ada ketakutan yang irasional ? Nah ini yang
perlu diwaspadai, karena ini bisa jadi sebuah phobia.
Penyebab Phobia
Phobia disebabkan karena
pengalaman yang buruk. Entah merasakan langsung, melihat kejadian, atau sekedar
mendengar informasi. Nah pengalaman ini membekas mendalam di alam bawah
sadarnya.
Penanganan atau respon atas
lingkungan terhadap penderita juga akan memperparah phobia, misalnya orang
sekelilingnya yang mengolok - olok atau menakut - nakutinya.
Hampir semua anak kecil takut
gelap, ini ketakutan wajar. Namun jika ketakutan ini dibumbui dengan cerita
hantu kemudian diolok – olok dan digoda berlebihan bisa jadi anak tersebut akan
menjadi phobia terhadap kegelapan. Bahkan jika sudah parah melihat warna
hitampun sang anak bisa pingsan.
Penanganan Praktis
Untuk menghadapi kondisi ini,
ada beberapa yang bisa dilakukan oleh orang tua, antara lain :
- Perhatikan Respon Anak
Tidak semua
anak mengeskpresikan takut dengan menangis. Perhatikan tanda ketakutan yang
lain, misalnya menggigit kuku pada situasi tertentu, tubuh yang gemetar, dan
tanda tidak biasa lainnya. Bedakan apakah itu menetap irasional atau wajar.
- Lakukan Komunikasi Empati
Jangan
mengejek, jangan menggoda, jangan permalukan di depan umum. Ajak dialog, dengarkan
ceritanya, hargai sudut pandang anak, lalu pahami. Perhatikan penyebab
munculnya phobia lalu jelaskan tentang ketakutannya dengan bersahabat dan level
bahasa anak.
- Hargai setiap kemajuan kondisi anak
Perasaan
dihargai adalah motivasi terbaik anak untuk menghilangkan ketakutan dan
phobianya
- Berikan Rasa Aman
Berikan
senyuman, pelukan, pegang tangan. Bila perlu ajarkan teknik relaksasi seperti
mengatur pernapasan dan pikiran.
- Pendekatan Objek Bertahap
Lakukan
terapi pendekatan objek yang ditakuti secara bertahap, dimulai dari yang paling
ringan. Anak Jangan dipaksa untuk
menghadapi sesuatu yang ditakutinya.
Beberapa
tahapan terapi adalah dengan (1) Penggunaan Kata, gunakan kata objek yang ditakuti bersamaan dengan sesuatu yang
menyenangkan. (2) Penggunaan Gambar, perlihatkan
gambar objek yang ditakuti. Perlihatkan secara sekilas, atau dari jauh, atau
sandingkan dengan gambar lain yang indah. (3) Penggunaan Cerita, sisipkan kata objek dalam cerita yang
menarik. Bila perlu sertakan tokoh
favoritnya. (4) Pendekatan objek asli dari jauh, pastikan anak tidak terpaksa melihat objek asli dan apresiasi setiap
kemajuan. (5) Pendekatan objek asli dari dekat, pastikan sudah melalui tahap sebelumnya dengan baik dan jangan
terpancang waktu.
Apabila kondisi anak sudah
melampaui batas, artinya dampak phobia sudah mengganggu aktivitas sehari -
hari, maka sebaiknya membawa anak ke pihak yang berkompeten, misalnya psikolog
atau psikiater.
Dalam kondisi yang lebih serius
biasanya terapi yang diberikan cukup beragam, misalnya Hypnotherapy (pemberian sugesti bawah sadar), Flooding (perlakuan ekstrim, yaitu dengan memberikan penderita
phobia lingkungan yang ditakutinya sampai bisa adaptasi – ini sangat jarang
dilakukan), Abreaksi (mengelola
ketakutan dalam imajinasi), Desensitisati
Sitematis (mengelola ketakutan dengan tahapan dari yang paling ringan), dan
Reframing (mengelola ketakutan dengan
imajinasi kembali pada saat awal ketakutan muncul).
Dari semua perlakuan, yang
terbaik tetaplah tindakan preventif,
yaitu menjaga agar phobia tidak muncul pada anak. Orang tua harus memastikan
bahwa lingkungan yang dihadapi anak tidak membuat anak trauma. Pengalaman buruk
apapun yang dihadapi anak segera diurai dengan perbincangan yang bersahabat dan
tidak menghakimi.
Oleh karenanya menjadi orang tua
yang di percaya anak adalah yang terbaik. Dengan kepercayaan itu anak akan
terbuka, sehingga orang tua akan mudah mengetahui kondisi yang terjadi pada
anak.
Tapi, bagaimana agar dipercaya anak..? Jadilah sahabatnya. Just do it !
Semoga bermanfaat
(artikel telah dimuat di harian Joglosemar bulan April)
(artikel telah dimuat di harian Joglosemar bulan April)
No comments:
Post a Comment