“Kenapa anak saya susah kalo disuruh sholat,
padahal bacaan sudah pinter lo.. di sekolah
aja nilai praktek sholatnya bagus “gambar - internet |
Ada beberapa hal
yang bisa dijadikan acuan
Pertama, masalah usia.
Dalam sebuah
hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda agar kita memerintahkan anak – anak kita untuk shalat pada usia
tujuh tahun dan memukulnya jika tidak melakukan pada usia sepuluh tahun.
Pertanyaannya kenapa angka usia yang disebut adalah TUJUH dan
SEPULUH ?
Kenapa tidak sejak 3 tahun atau 5 tahun..?
Ternyata pada usia ini (7 tahun) anak sudah mulai belajar membedakan
antara yang benar dan salah, yang disebut sebagai masa Tamyiz. Sehingga sangat sesuai jika mulai diajarkan tentang syariat
beserta sebab dan akibatnya.
Secara psikologis, pada usia ini perkembangan kognitif anak
sudah mempu melakukan penalaran sederhana. Selain itu pada masa ini anak sudah
mulai belajar menerima konsekuensi atas perilaku yang dilakukan.
Konsekuensi disini bisa diartikan hukuman, namun bukan yang
mengarah pada tindakan kasar dan menyakiti. Pukulan jika tidak
melakukan yang dimaksud adalah sebuah ‘signal’ yang diberikan pada anak sebagai
tanda bahwa anak telah melakukan perilaku yang salah.
Analisa ini menjelaskan bahwa kedisiplinan anak baru bisa
dipertanggungjawabkan dengan kesadaran anak secara penuh pada usia 10 tahun. Artinya
pada usia pra sekolah arti sholat bagi anak hanyalah ikut - ikutan tanpa
memahami makna dan mengimaninya.
Namun ini bukan berarti menafikkan bahwa anak sudah bisa dikenalkan
(dibiasakan) untuk sholat sejak usia lebih dini. Karena dalam beberapa riwayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan
bahwa beliau juga pernah mengajak cucunya yang usianya masih balita utuk shalat
berjama’ah.
lebih lengkap klik disini - Psikologi Kognitif dan Pendidikan Taklif
lebih lengkap klik disini - Psikologi Kognitif dan Pendidikan Taklif
Kedua,
masalah pemahaman
Ini berkaitan dengan konsep yang ditangkap anak tentang
sholat. Seringkali orang tua menjelaskan kewajiban sholat sebagai sebuah
keharusan tanpa penjelasan yang mudah diterima anak. Bisa dibayangkan jika
seorang anak yang masih berada pada masa bermain tersebut harus melakukan
sesuatu yang bagi dia tidak mengasikkan dan tanpa mengetahui keuntungan apa
yang didapat.
Bahkan tidak sedikit para orang tua yang selalu mengancam
neraka ketika anak tidak melakukan. Bukankah ini semakin menyulitkan anak untuk
‘menyukai’ ibadah.
Ingat sasaran kita adalah anak bukan orang dewasa. Mengenalkan
surga dan neraka itu harus, namun gunakan cara yang mudah dipahami anak. Karena
pada dasarnya agama itu penolong bukan pengancam.
Ketiga,
masalah keteladanan
Bagi anak apa yang dilihat adalah sebuah contoh yang boleh
dilakukan. Apa yang dilakukan orang tua adalah sebuah nasehat. Jadi apabila
orang tua memerintahkan anak untuk rajin sholat sementara orang tua menunda
sholat adalah sebuah ‘kontradiksi nasehat’ yang membuat perasaan anak
memberontak.
Bagi anak tidak ada alasan untuk tidak melakukan, sementara
sang ayah menunda sholat hanya karena rokoknya belum habis.
Lalu bagaimana membiasakan anak sholat sejak dini ?
Sholat bukanlah ritual atau sekedar kewajiban, namun sebuah kebutuhan manusia
‘menghubungi’ sang pencipta untuk berterimakasih, mengadu dan meminta.
Jika sebuah perilaku didasarkan akan sebuah kepentingan
pribadi untuk mendapatkan keuntungan, maka tanpa pengawasanpun seseorang akan
tetap melakukannya dengan sungguh – sungguh.
Pertanyaannya adalah bagaimana hal itu terjadi kepada anak ?
Jika ini pertanyaan terbesarnya maka ada dua kemungkinan.
Pertama, kita
bukanlah orang yang terbiasa ‘ngobrol’ asik dengan anak. kita lebih mudah
menarik kesimpulan ketika anak sedang bercerita dan selanjutnya puluhan nasehat
akan keluar dari mulut kita. Kedua,
kita sebagai orang dewasa memahami ibadah sholat sebagai sebuah beban. Kita cuma
berharap semoga anak kita lebih baik imannya daripada kita dengan cara
disekolahkan di sekolah islam atau diikutkan TPA yang hebat.
Atau bukan keduanya ?
Baiklah , apapun itu ada beberapa yang bisa kita lakukan
untuk membuat anak rajin sholat.
Pertama,
pahami cara berpikir anak.
Anak itu bukan orang dewasa dalam bentuk mini, namun benar –
benar sosok kecil dengan pemikiran yang baru berkembang. Bagi anak bermain itu
yang utama, dan memang melalui permainan atau sesuatu yang menyenangkan anak
bisa belajar banyak tentang bagaimana harus berperilaku. Cara berpikir anak
begitu sederhana, kaya imajinasi dan sedikit pertimbangan. Jadi sesuatu yang
ditangkap akan dipahami dengan apa adanya.
Kedua,
biasakan 'ngobrol' dengan anak sejak dini.
Agar pemikiran kita bisa ‘masuk’ dalam pemahaman anak,
pakailah logika sederhana anak. Sampaikan dengan obrolan dan pertanyaan -
pertanyaan yang mengarahkan ke konsep yang akan kita sampaikan.
Sebagai contoh pertanyaan seperti
gambar - internet |
‘apa yang dilakukan
ketika kita diberi sesuatu ?
kenapa ?..
atau apa guna matahari
?
kenapa kalo
kita sakit tidak bisa bermain ?
apa yang kita
lakukan jika diberi kesehatan ?
bisa mengarahkan anak untuk memahami konsep Tuhan sebagai
dzat maha pemberi dan kenapa kita harus bersyukur. Bukankah beribadah adalah
cara bersyukur yang telah dicontohkan Rasulullah ?
Arahkan bahwa sosok Tuhan itu hebat, peduli, perhatian dan
sayang pada hambanya. Sehingga semakin kita dekat, maka akan semakin sayang
Tuhan pada kita.
Konsep neraka adalah sebuah bentuk hukuman HANYA JIKA kita
sengaja berbuat buruk. Perdalam konsep ini seiring bertambahnya usia anak.
Ketiga, berikan
contoh
Perbaiki diri sebelum memperbaiki anak. Orang tua adalah guru
yang nyata bagi anak. karena bukan hanya mengajarkan teori namun juga
menunjukkan praktek sekaligus.
Selanjutnya kenalkan anak aktivitas ibadah seawal mungkin. Biasakan
melakukan serutin mungkin agar mejadi sebuah kebiasaan sehari – hari. Namun
ingat, bagi anak itu hanya sekedar ritual ikut - ikutan tanpa memahami makna
lebih lanjut. Dalam kondisi ini, kedisiplinan terjadi hanya sebatas jika
diawasi atau diajak. Jika tidak, bisa jadi anak lebih mementingkan aktivitas
bermainnya dari pada beribadah. Ini bukan berarti anak bandel, namun memang
makna sholat belum dipahami secara penuh.
Jadi sebaiknya biasakan anak untuk diajak sholat bersama –
sama secara rutin. Bagi anak laki – laki usahakan selalu di masjid. Jangan lupa
biasakan untuk menggunakan perlengkapan sholat sesuai syariat, seperti baju
bersih, menutup aurat dan tempat yang suci. Ajarkan bacaan sholat pada saat
yang tepat dan yang penting minta untuk mempraktekkan pada waktu sholat. Sekali
waktu sampaikan arti dari bacaan dan surat pendek dalam sholat. Dan jelaskan
dengan bahasa dan contoh yang mudah dipahami.
Keempat,
adalah tegas dan konsisten
Ingat tegas itu bukan marah, bukan pula galak. Tegas adalah
konsisten dengan apa yang telah kita sampaikan dan kita tetapkan. Dan ini juga
berlaku untuk kita sendiri. Tegas bisa disampaikan dengan senyuman dan pelukan.
Jika kita bisa melakukan inia maka teriakan dan pukulan tidak akan perlu
terjadi di rumah kita.
Anak mungkin akan menangis mengiba, namun ketegasan akan
membuatnya berpikir bahwa itu tidak akan ada gunanya.
Kesalahan dan hukuman adalah bagian dari pendidikan. Jangan sampai
hukuman membuat trauma apalagi antipati terhadap perilaku yang diinginkan.
Bentakan dan tindakan kasar mungkin membuat anak menurut tapi tidak dengan
hatinya. ‘Endapan’ hati yang berontak mungkin akan meledak ketika sang anak
sudak tidak mampu lagi menahan perasaannya.
Lebih baik berikan reward
atas perkembangannya. Tidak harus berupa materi, hal - hal kecil seperti acungan
jempol, usapan di kepala, senyuman, pelukan, dan pujian kecil yang tulus atas
perilaku hebatnya akan berdampak baik bagi anak. Terkadang ngobrol di saat yang
tepat tentang perilaku yang tidak tepat lebih berguna dari hukuman yang tidak
dipahami anak.
Wallahu A'lam Bishawab
semoga berguna.
No comments:
Post a Comment