“Andaikan setiap guru dan orang tua bisa membuat penasaran kepada anak tentang semua mata pelajaran, maka tidak akan ada anak malas dan takut sekolah”.
Sekolah ? SIAAP |
Sekolah itu harus menyenangkan, harus membuat anak tidak
sabar segera mendatanginya setiap hari untuk mengarungi lautan pengetahuan yang
tidak terbatas.
Sekolah itu harus memiliki guru yang membuat mulut anak didiknya menganga karena mendengar penjelasannya.
Sekolah itu harus memiliki suasana yang membuat setiap anak terkejut kenapa tiba - tiba sudah jam pulang sekolah.
dan..
Sekolah itu harus mengispirasi perubahan yang membuat anak merasa bersemangat untuk mengerjakan kebaikan
Sekolah itu harus memiliki guru yang membuat mulut anak didiknya menganga karena mendengar penjelasannya.
Sekolah itu harus memiliki suasana yang membuat setiap anak terkejut kenapa tiba - tiba sudah jam pulang sekolah.
dan..
Sekolah itu harus mengispirasi perubahan yang membuat anak merasa bersemangat untuk mengerjakan kebaikan
Adakah Sekolah seperti itu ? ada, tapi pastilah hanya
segelintir di antara ribuan sekolah yang semuanya mengiklankan kehebatan
sekolahnya. Namun ternyata kehebatan sekolah hanyalah salah satu faktor bagi
anak untuk enjoy dan sukses dalam menimba ilmu. Masih ada faktor A alias faktor
ANAK yang menjadi faktor utama, tentu saja disamping orang tua sebagai
penanggungjawab utama pendidikan anak. Kesiapan motorik, kognitif, sosial, dan mental
anak adalah yang utama agar sekolah tidak lagi menjadi aktivitas yang
menyeramkan bagi anak dan stressor
bagi orangtua.
Sekolah sebenarnya dimulai dari SD (Sekolah Dasar) bukan
TK/KB. Karena semua aktivitas sebelum SD
adalah masa mempersiapkan anak untuk memasuki dunia sekolah, maka TK/KB atau
sejenisnya sering disebut juga Preschool.
Namun, kesiapan untuk kematangan sekolah juga bukan sepenuhnya tanggungjawab preschool. Kelompok
bermain atau TK hanyalah tempat yang secara materi sudah disusun untuk membantu
orangtua mempersiapkan anak untuk memasuki lingkungan sekolah yang sebenarnya.
Jadi peran orangtua sebagai penanggung jawab utama pendidikan anak harus mampu
mengetahui sejauh mana kesiapan anak untuk sekolah dan mempersiapkan sebaik
mungkin.
Ada empat faktor utama kesiapan anak masuk sekolah yang
dapat dipersiapkan oleh orangtua, yaitu motorik, kognitif, sosial dan mental.
Kesiapan Motorik.
Melompat, memanjat, berlari adalah jenis motorik kasar.
Kemampuan ini berkembang seiring dengan kematangan fisik anak. Selain lebih
bugar, motorik kasar juga akan merangsang perkembangan otak agar lebih aktif
sesuai gerakan fisiknya. Di sekolah, motorik kasar yang baik dapat memudahkan
anak untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Untuk urusan ini sebaiknya jangan terlalu banyak melarang
atas perilaku anaknya yang aktif bergerak. Karena pada dasarnya anak sedang
bereksplorasi atas perkembangan fungsi tubuhnya. Cukup dengan pengawasan dan
batasan terhadap aktifitas yang membahayakan saja.
Sedangkan motorik halus adalah aktifitas fisik yang lebih
detail dan fokus. Misalnya menulis,menggunting, dan lainnya. Disini orangtua
bisa melatih dengan menggambar, mengenalkan huruf dan abjad serta mencoba
menirunya (ingat, sekedar mengenalkan, bukan memaksa dengan les berlebihan). Di
dapur sang ibu bisa mengajarinya menggunting dan mengiris sayuran. Tapi tetap
harus sesuaikan dengan level kemampuannya.
Jika anak terlalu pasif atau lebih menyukai playstation dari pada permainan yang membutuhkan gerak, maka sebaiknya orang tua mengambil peran untuk menstimulasi agar anak memiliki aktifitas fisik yang seimbang. Bermain di pantai, bersepeda atau kerja bakti dirumah mungkin bisa menjadi alternatif aktifitas yang menyenangkan.
Kesiapan Kognitif
Perkembangan pola pikir dan logika anak mengalami perubahan
pesat pada masa usia sekolah. Dari yang bersifat imajinatif menuju ke berpikir
konkrit. Pada awalnya cara berpikir anak banyak didominasi imajinasi dari
stimulus yang ditangkap dari panca inderanya. Namun kemudian bergeser ke arah
pemikiran konkrit, rasional dan objektif.
Pada masa ini anak masih lebih mudah menghapal daripada
memahami konsepnya. Operasi hitung
sederhana dapat dilakukan anak karena
hapalan, bukan konsep bertambah atau berkurangnya benda. Sehingga orang tua
sebaiknya memberikan rangsangan kognitif dengan contoh yang sederhana, nyata, menarik,
dan mudah ditangkap oleh anak. Mengajari operasi hitung dengan benda langsung
jauh lebih bermanfaat daripada tebak – tebakan.
Dalam hal pemahaman spiritual, anak lebih baik jika diajak berbincang tentang konsep ibadah engan cara penanaman tauhid. Ingat anak memiliki daya paham yang terbatas, jadi harus benar2 memilih cara yang sesuai. Misalnya konsep bahwa manusia sebagai makhluk harus banyak berterima kasih kepada sang pencipta atas semua pemberianNya melalui ibadah. Jelaskan juga bahwa jalur khusus meminta juga bisa didapat melalui ibadah. Tekankan bahwa ibadah bukanlah ritual, tapi sebuah kebutuhan komunikasi yang harus dilakukan dengan khidmat dan sungguh - sungguh.
Dalam hal pemahaman spiritual, anak lebih baik jika diajak berbincang tentang konsep ibadah engan cara penanaman tauhid. Ingat anak memiliki daya paham yang terbatas, jadi harus benar2 memilih cara yang sesuai. Misalnya konsep bahwa manusia sebagai makhluk harus banyak berterima kasih kepada sang pencipta atas semua pemberianNya melalui ibadah. Jelaskan juga bahwa jalur khusus meminta juga bisa didapat melalui ibadah. Tekankan bahwa ibadah bukanlah ritual, tapi sebuah kebutuhan komunikasi yang harus dilakukan dengan khidmat dan sungguh - sungguh.
Tekankan bahwa ibadah bukanlah ritual, tapi sebuah kebutuhan komunikasi yang harus dilakukan dengan khidmat dan sungguh - sungguh.
Mendengarkan dengan fokus ketika anak bercerita juga
merangsang kognitif anak, terutama dalam kemampuan berbahasa dan menguraikan
gagasan. Diskusi ringan terhadap topik yang sedang menarik bagi anak sangat
positif bagi peningkatan kemampuan berpikir. Yang perlu diperhatikan, fokus dan
pakailah bahasa anak. Jangan mudah menasehati atau menyimpulkan. Arahkan agar
anak yang menyimpulkan sehingga anak memahami konsep dengan sepenuhnya.
Kesiapan Sosial
Anak identik dengan bermain. Dengan aktifitas ini anak
banyak belajar tentang komunikasi, norma, aturan, peran, empati, kepemimpinan,
negosiasi dan masih banyak lagi kemampuan yang berhubungan dengan ‘mengelola’
orang lain. Hampir dalam setiap permainan kelompok selalu ada pembelajaran yang
bisa didapatkan. Bahkan dengan bertengkar pun anak masih bisa belajar tentang
norma, pemecahan masalah, dan kemandirian. Tentu saja, asal masih dalam batas
wajar dan tidak berbahaya.
Ketika di sekolah,
anak sangat membutuhkan kesiapan sosial. Komunikasi dan adaptasi terhadap
aturan dan norma adalah keharusan dalam proses pendidikan formal. Kemampuan
bergaul dan menyesuaikan diri terhadap teman teman sebaya akan membuat anak
merasa nyaman dan betah di sekolah.
Biasakan anak untuk bertemu dan bersosialisasi dengan orang
lain. Bukan hanya teman sebaya namun juga dengan orang dewasa. Jika anak
menolak dengan alasan malu, jangan dipaksa. Berikan pengertian pada waktu luang
dan lebih sering diajak bersilaturahmi. Pastikan motivasi yang diberikan bukan
berupa paksaan.
Kesiapan Mental - Psikologis
Kematangan mental anak adalah kondisi dimana mental seorang
anak berkembang sesuai dengan tugas level perkembangannya. Dalam psikologi
perkembangan anak, pada awal usia sekolah seorang anak mempunyai tugas
perkembangan mental untuk belajar kemandirian, belajar mengelola emosi dan
berbagi, belajar peran atas jenis kelamin, dan belajar tentang nilai agama dan
norma. Keberhasilan anak dalam melakukan proses tersebut akan menambah rasa
percaya dirinya.
Tentu saja mereka tidak mungkin bisa belajar secara mandiri.
Diperlukan bimbingan dan teladan dari lingkungan agar proses ini berjalan
dengan maksimal. Dalam memberikan nasehatpun harus bersifat dua arah dan mudah
dipahami. Metode cerita dan komunikasi akrab seputar kejadian yang dialami akan
lebih mudah ditangkap oleh anak daripada sekedar aturan dan nasehat normatif yang
terlalu kaku.
Dalam hal ini pemahaman kenapa perilaku itu harus dilakukan
atau dilarang sangat penting. Sehingga anak disiplin dalam berperilaku karena
paham alasannya harus melakukan atau tidak melakukan. Bukan karena takut akan
hukuman. Terkadang anak mengulang pelanggaran yang sudah dilakukan, tapi
biasanya ini terjadi karena dampak atas pelanggaran tidak begitu berpengaruh
bagi anak dan bukan karena niatan nakal atau menyimpang.
Bahas peristiwa yang diketahui atau dialami anak dengan bahasa anak. Bimbing anak untuk menangkap
sisi positif dan negatif dari peristiwa tersebut. Bagi anak, sebuah nilai yang
disertai dengan contoh kejadian akan lebih mudah dipahami daripada aturan yang
terlalu umum.
Melakukan kesalahan bukan lah sesuatu yang tabu selama tidak
membahayakan anak. Justru dengan kesalahan anak belajar tentang risk task dan move on dari sebuah kegagalan. Berikan semangat untuk selalu
mencoba dan memperbaiki.
Berikan pujian untuk setiap peningkatan kemampuan anak sekecil
apapun. Penting diperhatikan adalah pujian itu ditujukan kepada perilakunya,
sehingga anak paham dan mengerti bahwa sesuatu itu layak dilakukan dan diulang.
Sebaliknya kritik anak atas perilakunya, bukan orangnya. Dan berikan solusi,
sekali lagi, dengan bahasa yang nyaman dan mudah dipahami. Karena mengkritik
tujuannya adalah merubah perilaku bukan merendahkan.
Bentuk persepsi positif tentang sekolah. Ajak anak diskusi tentang
sekolah beberapa bulan sebelumnya. Berikan contoh yang menyenangkan tentang
aktivitas belajar. Hubungkan setiap kejadian menyenangkan dan menarik dengan
pelajaran yang akan didapat suatu saat jika anak sekolah.
Percobaan kecil tentang benih kedelai yang tumbuh di sebuah
kapas basah mungkin akan menarik perhatian anak. Sampaikan bahwa hal itu akan
diajarkan di sekolah dengan pelajaran bernama IPA. Sehingga dalam pikiran anak
kata IPA itu identik dengan sesuatu yang menyenangkan. Lakukan juga untuk
pelajaran lainnya.
Terakhir,
Anak bersekolah adalah demi kepentingan anak, bukan pemuas
ego dan demi image orang tua. Setiap anak
memiliki potensi yang siap diledakkan. Tugas
orangtua adalah membimbing dan memastikan bahwa anak memiliki masa belajar yang
menyenangkan dan aman bagi akhlak mereka. Tidak ada sekolah terbaik, yang ada adalah sekolah yang tepat
bagi anak.
Semoga berguna
(artikel telah dimuat di harian Joglosemar bulan Juni 2013)
Artikel terkait
Kematangan Sekolah
Preschool tidak butuh PR
(artikel telah dimuat di harian Joglosemar bulan Juni 2013)
Artikel terkait
Kematangan Sekolah
Preschool tidak butuh PR
No comments:
Post a Comment